Langsung ke konten utama

Menjadi Sarjana di UIN Imam Bonjol


Delapan Agustus lalu saya sudah khatam dari mahasiswa untuk menjadi sarjana yang tidak pernah saya benar-benar diperjuangkan. Pertayaannya, apakah untuk menjadi sarjana di UIN Imam Bonjol Padang sesulit itu? Yah, bengini.

Saya masuk ke kampus ini karena “Pelarian” setelah tidak lulus di Olahraga UNP, Teknik Kimia dan Sipil Unand terakhir Tehnik Industri UGM. Namum ekspektasi setinggi itu harus pupus karena “terundang” ke kampus ini. Dari sudut pandang saya kampus ini memiliki beberapa keunikan dengan sistemnya yang mungkin tidak pernah bisa ditemukan di kampus lain mulai dari pimpinan, dosen, pegawai, preman¸ orang gila, mahasiswa, sistem pembelajaran, dan akademik amburadul.  

Ketika masuk ke kampus ini (masih IAIN kala itu)  yang terlihat pertama kali adalah sampah bertaburan mungkin karena baru selesai libur panjang barangkali, secara spontan papa langsung berpendapat yang sampai sekarang tidak pernah saya lupakan: “Bang, kok dapek kalau ado kampus lain, yang bisa lulus di tampek lain se lah, caliaklah sarok dima-dima” artinya kalau ada kampus lain kuliah di sana saja di sini tak ubahnya dengan tong sampah. Tentu saja peryataan itu tidak pernah saya lupakan, sebuah ungkapan yang wajar tentang keraguan dari orang tua terhadap kampus tempat anaknya menuntut ilmu dan menggapai mimpi.

Setelah memasuki tahun ke dua perkuliahan, saya mulai mengevaluasi diri dengan apa yang telah dilakukan selama dua semester di sini. Dan pada tahun pertama itu saya mengambil kesimpulan bahwa lebih gampang mengingat bagaimana menahan tendangan bola dari lawan di lapangan futsal dibandingkan resume sebuah buku yang harus diserahkan setiap minggu, dan sampai sekarang metode pembelajaran seperti itu belum lagi punah. Pernah beberapa kali saya melakukan kritik dengan sistem pembelajaran itu, namun menjadi kritis kala itu akan menjadi minoritas di kelas, saya dibilang “sok” intelektual, “hai intelek” teman-teman acap memanggil. 

Pada awal semester lima tepatnya setelah saya menjadi salah satu pegurus di organisasi paling sibuk di kampus, berbanding terbalik dengan proses perkuliahan di kelas yang biasanya selalu datang tepat waktu menjadi tidak peduli sama sekali, dengan hanya masuk kelas bertujuan mengambil absen lalu mencuri waktu untuk pergi ke sekre, mandi saja jarang kulit bertambah lekang tapi pemikiran menjadi lebih terbuka. Setelah semester selesai tak saperti biasanya, saya selalu optimis dengan nilai tapi ketika itu terasa lebih menegangkan karena dengan proses kuliah yang tidak maksimal. Meski dengan portal nilai yang selalu ngaceng setiap semesternya saya melihat kejanggalan lain tentang kampus ini yaitu tidak adanya nilai yang  “buruk”.  Sebagai informasi: dengan proses perkulihan yang hanya masuk beberapa menit saja setiap mata kuliah dan ada yang sampai lupa mengambil satu mata kuliah.

Sekitar awal semester tujuh, alam tidak peduli saya terhadap perkuliahan semakin besar sehingga saya memutuskan untuk membuat garis merah pembatas, ketika itu tujuan ke kampus hanya ke sakre saja tidak ada yang lain, persetan soal proposal melihat nilai saja sudah masa bodoh.  Anehnya,  IP  pada semester justru itu adalah yang terbaik selama kuliah  akhirnya saya mengambil kesimpulan untuk pindah kuliah ke sekre saja.

Semester sembilan, ketika teman-teman seangkatan sudah jarang terlihat, perkuliahan juga tidak ada yang terlampau bermasalah ditambah dengan desakan orang kampung yang terus menanyakan “kapan wisuda” terutama orang tua yang mulai cemas akan anaknya seperti dulu ketika baru masuk ke kampus ini, apakah akan keluar dengan dengan cara yang benar atau “ditendang”. Saya mulai untuk merancang bentuk proposal penelitian, tetap dengan pemikiran awal bahwa tidak benar-benar serius.

Dengan modal yang tidak serius itu saya justru bisa mendapatkan asese dosen pembimbing dengan sangat mudah, mungkin karena saya terihat sedikit menonjol di bidang penulisan karena aktif di organisasi yang melatih itu. Dosen itu berkata. “Sudahlah ibu parcaya saja dengan Naufal, kamu kan aktivis,” dan itu menurut saya itu menunjukan bahwa kampus ini tidak memiliki standar.

Setelah proses tetek bengek akademik fakultas selesai, proposal yang tidak serius tadi ternyata bisa diseminarkan dengan bermodalkan baju putih minjam dan ruang seminar yang sempat digusur oleh wede satu karena mungkin punya kesan tidak baik dengan saya. Akhirnya seminar itu selesai dan diterima dalam kurun waktu kurang dari dua puluh menit tanpa menggunakan buku apapun. Dengan arti lain saya berhasil menipu narasumber dengan gimik “sok” intelek.

Beberapa bulan selanjutnya saya menidurkan proposal itu sehingga benda tidak penting itu dimakan tikus dan terpaksa harus mengulang kembali meminta tanda tangan guna melakukan penelitian yang juga dilakukan tidak benar-benar serius. Setelah eska pembimbing dan peneitian selesai hampir dalam waktu yang bersamaan saya melakukan penelitian dengan angket dari google lalu mengirim sampel-sampel itu ke whatsaap. Sebagian besar data-data itu berasal dari saya sendiri.

Selama tiga hari dari tiga bulan syarat waktu penelitian minimal yang diberikan oleh kampus saya berhasil merangkum hasil penelitian dan kesimpulan dengan bantuan teman juga perempuan. Sedikit berpura panik karena tak kunjung mendapat asese hingga dua waktu terakhir menjelang angenda yang sudah bisa dipastikan molor, ketika hampir habis harapan, dosen pembimbing dengan setengah sadarnya memberikan asese pada hari terakhir untuk pendaftaran sidang. Sungguh rasanya tetap biasa saja.

Akhirnya pada delapan Agustus 2019, adalah hari penentuan itu apakah kampus ini serius atau tidak. Jujur harapan terbesar saya adalah “tidak diluluskan”, hanya bermodal empat buku sementara teman-teman lain hampir dua bahkan tiga tumpuk yang setiap tumpuknya terdiri dari sepuluh sampai lima belas. Saya hanya bawa empat bahkan salah satunya adalah novel Rumah Kaca milik Pramoedya Ananta Toer yang entah apa hubungannya dengan skripsi.

Saya menganggap sidang itu adalah sekadar diskusi kecil saja, ketika sidang tidak ada tegang apalagi lupa bagaimana membaca Al-Fhatihah, saya menutup skripsi dan buku lalu menjawab kritik gimik dari dosen penguji sembari tertawa dan beberapa kali minum. Tentu saja terdapat begitu banyak kesalahan dengan skripsi itu karena dari awal memang tidak benar-benar serius mengerjakannya, harapanku untuk tidak lulus dari ujian itu semakin besar. Tetapi kenyataannya berbeda. “Kok bisa?”.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Go Set A Watchman

“Go Set A Watchman” adalah buku yang sangat menarik bagi kita yang ingin tahu tentang isu diskriminasi ras di Amerika sejak tahun 1950-an, dalam buku ini Harper Lee sang penulis berhasil memberikan penekanan kepada Jean Louis sebagai karakter utama. Saya sangat takjub ketika membuka halaman pertama, kita tahu Harper Lee adalah seorang pemenang Pulitzer dengan buku fenomenalnya “To Kill A Mockingbird” yang mengguncang sastra dunia. Setiap halaman demi halaman di dalam buku ini ditulis dengan sastra klasik khas Amerika lengkap dengan puisi-puisi kenamaan Arthur William, William Schwenck Gilbert dan serpihan tulisan Lady Croline Lamb.   Dia membuat premis yang nyaris sempurna kepada seluruh tokoh yang membuat pembaca mendapatkan makna-makna tersendiri dari seluruh karakter yang ada. Meskipun lebih dari sepuluh karakter terdapat dalam buku ini penulis tetap menjadikan Jean Louis sebagai inti cerita dengan tidak meninggalkan detail penokohan yang lain. Ayah Jean Louis, Att

Menikmati Ketidakpastian (Bagian Satu)

Ada beberapa kisah menaik yang ada dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan. Beberapa waktu yang lalu ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota besar serupa “Neraka” ini ada seorang laki-laki yang menurut saya adalah akan menjadi orang yang akan selalu saya percayai, bukan perempuan karena mungkin bebrapa tahun ini saya belum akan memulai kisah beru dengan perempuan karena da sesuatu hal yang membuat saya merasa kurang beruntung dengannya. Untuk mencapai sesuatu dan mempercayainya butuh waktu yang tidak sedikit, butuh waktu rata-rata tujuh tahun begi seseorang bisa menguasai bidang yang ia sukai, di dalam tujuh tahun itu terdapat kesenangan, kebosanan, konsisten, putus asa dan merasa gagal. Begitu juga untuk mengenal manusia, sampai sekarang saya hanya punya dua orang sahabat saja yang sangat dipercayakan bukan karena sombong because something but, this is about self , saya tidak tahu tapi entah mengapa saya sangat susah dekat dengan orang dan hal tersebut sudah saya

Kiri Itu Seksi

Kiri Itu Seksi 10 November lalu, bertepatan dengan hari pahlawan tirto.id mengeluarkan sebuah artikel yang berjudul “Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional” kedua tokoh tersebut adalah Tan Malaka dan Alimin. Siapa yang tak kenal Tan Malaka, pendiri partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) itu adalah seorang pemuda minang yang sangat dihormati oleh Ir Soekarno, sejarah pernah mencatat bahwa Soekarno mengatakan. “Apa bila bukan saya maka Tan yang jadi presiden,” tutur pria beristri sembilan tersebut membuktikan bahwa pemikiran Tan punya pengaruh kuat untuk memerdekakan Indonesia, tapi semua adidaya pemikiran seorang Tan tersebut seakan tak berguna di mata masyarakat sekarang hanya karanya beliau adalah seorang komunis.  Ya.. “KOMUNIS”  kata tersebut sengaja saya besarkan karena apabila mendengar kata itu masyarakat Indonesia sekarang berpikir itu adalah paham keras, radikal atau sebagainya, tanpa tau atas dasar apa mereka berpikir seperti itu, padahal menurut say