Langsung ke konten utama

Berkarya dan Bebas


Ada sesuatu paling penting yang harus kita pahami tentang kehidupan, yaitu berhentilah mencoba untuk mencari bahagia. Sebagian besar manusia di dunia ini belomba untuk mencari kebahagiaan misalnya tentang bagaimana berusaha terlihat berbeda sementara menjadi diri sendiri sudah cukup untuk membuatmu jadi berbeda. Kebahagiaan selalu saja dikaitkan dengan materi, tahta, istri yang cantik, kebutuhan seks yang menyenangkan, kehidupan sejahtera dan juga mimpi yang diangankan dapat terwujud sempurna. Tetapi kebahagian bukan saja tentang itu semua, justru ketika kita hendak mengejar itu sesungguhnya kita tidak akan benar-benar menemukannya.






Sebuah penolakan, harapan yang hilang, perasaan yang selalu dihantam rasa sakit bertubi-tubi peri. Semua orang sudah tahu bahwa semua itu akan terjadi, hal inilah yang membuat banyak orang gagal ketika berusaha menggapai mimpi dan memilih menjadi hidup mayoritas seperti menikah saja, berhenti berharap dengan mimpi atau banting setir untuk hal yang dianggap pasti dan kuno.  Menilik lebih dalam, kita harus memandang beda bahwa terbiasa dengan penolakan, dikucilkan dan harapan yang hilang kita akan mengerti bahwa kabahagiaan itu adalah sebuah kefanaan tanpa tujuan. Seperti kata Mark Manson “Stop Trying To Be Happy”, artinya: berhenti mencoba untuk bahagia. Cobalah untuk terbiasa dengan ketidakpastian.

Beberapa waktu kedepan seorang sahabat akan melakukan salah satu mimpi kecilnya yang dulu sering ia ceritakan ketika kuliah, yaitu melakukan pameran photo di kampus yang dikuasai mayoritas ini. Dimana hanya sedikit masyarakat kampus yang peduli akan karya juga tetap dengan idealisnya, Ikwan adalah representatif dari apa yang dikatakan oleh Mark Manson di atas. “Stop Trying To Be Happy” ia adalah pemuda yang berusaha keluar dari zona nyaman untuk mengejar mimpi dan berhenti mencari bahagia dengan tetap teguh pada paradigma kebebasan. Ia adalah anti tesis dari mayoritasnya kerumunan yang hanya menyampah di kampus ini. Hal itu terlihat dengan kesungguhannya memulai sebuah karya dari nol baik itu materil dan referensi dan esok ia akan mewujudkan mimpi kecil itu.  

Ikhwan memulai semuanya itu dari ketiadaan, menurutku dia sudah sampai pada tahap dimana ia memilih sesuatu yang akan memposisikannya kepada tempat yang rawan. Semua orang-orang besar memulai suksesnya dari bagaimana dia memilih dan memperjuangkan mimpi. Ikhwan, dia adalah anak yang berasal dari kampung tertinggal di Riau terbang ke Padang bukan karena sesuatu yang diketahui justru dia baru saja memulai semuanya, menikmati listrik dengan lancar juga dengan segala kecanggihan kota yang tidak ia temukan di tempat asalnya.

Begitulah dia, bermula dengan kamera “murah” namun dari itu dia mengemas sebuah karya yang mahal, mahal dari segi perjuangan yang ia lakukan sendiri. Pernah beberapa kali mencoba untuk mencari partner yang dirasanya satu gendre meski untuk sekadar berbagi cerita kosong, tapi sampai sekarang dia tidak pernah benar-benar menemukan itu, berteman dengan orang-orang yang tidak sepenuhnya ia suka dan acap kali mengundang sepi. Ikhwan termasuk orang yang selektif dalam bertaman tapi ia menemukan cara untuk tidak memperlihatkan ketidaksukaan itu dengan halus dan bersih dari body shaming dan jugde. Dia juga berusaha untuk tetap ada dalam lingkungan mayoritas yang menggerogoti setiap ideologinya.

Besok kita akan menemukan karya-karyanya dalam sebuah pondok dari kayu dan bambu yang kami bantu sesuai kemampuan, photo-photo itu tidak pernah bohong semuanya berisi perjuangan. Di sana kita akan melihat bermacam photo Human Intersest, Modeling, Photo Buta dan masih banyak lagi.  

Kami memiliki sudut pandang hampir sama perihal karya, meski punya dunia dan media yang tidak sama sekali sama, paradigma yang dikemasnya dalam frame sedernaha itu adalah suatu persamaan yang menyimbolkan ketidaksukaan dengan mayoritas yang terus menodai mimpi. Aku suka bagaimana dia memulai semua karyanya, sejauh ini aku tidak pernah melihat dia berhenti. Dia adalah djiancuk-nya kawan, bisa menerima dan memberi apapun yang ia miliki terlebih itu tentang apa yang ia sukai.


Besok karya-karya Djiancuk itu akan ditampilkan dalam frame mimpi kecill dengan membuat pameran photo kecil-kecilan miliknya, mari kita lihat karya-karya itu dari sudut pandang yang berbeda tidak hanya dari segi cinematography namun tetang bagaimana dia menggapai mimpi kecilnya itu yang akan menjadi besar karena keyakinan yang dimilikinya.

Ikhwan bagiku seperti Kevin Carter-nya UIN Imam Bonjol Padang, dia adalah pemenang piala Publizer versi kecil dalam hatiku,  bukan tentang bagaimana keindahan photo yang diciptakannya tapi dari bagaimana perjuangannya menuju itu, yaitu mimpi kecilnya. Selamat berjuang djiancuk tetaplah bermimpi, karena jika orang-orang seperti kita ini tidak punya mimpi maka kita akan mati kawan. Sekian dan selamat.

Foto: @wan_kabu

Komentar

Puti mengatakan…
Karena riang berawal dari menyediakan ruang

Postingan populer dari blog ini

Go Set A Watchman

“Go Set A Watchman” adalah buku yang sangat menarik bagi kita yang ingin tahu tentang isu diskriminasi ras di Amerika sejak tahun 1950-an, dalam buku ini Harper Lee sang penulis berhasil memberikan penekanan kepada Jean Louis sebagai karakter utama. Saya sangat takjub ketika membuka halaman pertama, kita tahu Harper Lee adalah seorang pemenang Pulitzer dengan buku fenomenalnya “To Kill A Mockingbird” yang mengguncang sastra dunia. Setiap halaman demi halaman di dalam buku ini ditulis dengan sastra klasik khas Amerika lengkap dengan puisi-puisi kenamaan Arthur William, William Schwenck Gilbert dan serpihan tulisan Lady Croline Lamb.   Dia membuat premis yang nyaris sempurna kepada seluruh tokoh yang membuat pembaca mendapatkan makna-makna tersendiri dari seluruh karakter yang ada. Meskipun lebih dari sepuluh karakter terdapat dalam buku ini penulis tetap menjadikan Jean Louis sebagai inti cerita dengan tidak meninggalkan detail penokohan yang lain. Ayah Jean Louis, Att

Menikmati Ketidakpastian (Bagian Satu)

Ada beberapa kisah menaik yang ada dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan. Beberapa waktu yang lalu ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota besar serupa “Neraka” ini ada seorang laki-laki yang menurut saya adalah akan menjadi orang yang akan selalu saya percayai, bukan perempuan karena mungkin bebrapa tahun ini saya belum akan memulai kisah beru dengan perempuan karena da sesuatu hal yang membuat saya merasa kurang beruntung dengannya. Untuk mencapai sesuatu dan mempercayainya butuh waktu yang tidak sedikit, butuh waktu rata-rata tujuh tahun begi seseorang bisa menguasai bidang yang ia sukai, di dalam tujuh tahun itu terdapat kesenangan, kebosanan, konsisten, putus asa dan merasa gagal. Begitu juga untuk mengenal manusia, sampai sekarang saya hanya punya dua orang sahabat saja yang sangat dipercayakan bukan karena sombong because something but, this is about self , saya tidak tahu tapi entah mengapa saya sangat susah dekat dengan orang dan hal tersebut sudah saya

Kiri Itu Seksi

Kiri Itu Seksi 10 November lalu, bertepatan dengan hari pahlawan tirto.id mengeluarkan sebuah artikel yang berjudul “Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional” kedua tokoh tersebut adalah Tan Malaka dan Alimin. Siapa yang tak kenal Tan Malaka, pendiri partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) itu adalah seorang pemuda minang yang sangat dihormati oleh Ir Soekarno, sejarah pernah mencatat bahwa Soekarno mengatakan. “Apa bila bukan saya maka Tan yang jadi presiden,” tutur pria beristri sembilan tersebut membuktikan bahwa pemikiran Tan punya pengaruh kuat untuk memerdekakan Indonesia, tapi semua adidaya pemikiran seorang Tan tersebut seakan tak berguna di mata masyarakat sekarang hanya karanya beliau adalah seorang komunis.  Ya.. “KOMUNIS”  kata tersebut sengaja saya besarkan karena apabila mendengar kata itu masyarakat Indonesia sekarang berpikir itu adalah paham keras, radikal atau sebagainya, tanpa tau atas dasar apa mereka berpikir seperti itu, padahal menurut say