Langsung ke konten utama

Berpetualang ke Dalam Hati



Perjalanan ini sebenarnya telah dimulai sejak dua tahun lalu, saat itu aku masih berada di kota Padang aku bertemu dengan seorang petualang yang telah melangkahkan kakinya dari tengah Jawa hingga terakhir di Sumatera Barat. Pertemuan yang tidak sengaja ini justru yang menuntunku melangkah lebih jauh menuju tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Organisasi adalah perantara yang mempertemukanku dengan beliau, Parmik, begitulah dia mengenalkan dirinya, kisah perjalannan yang jauh itu tergambar dari raut, dan perilaku yang jauh berbada dengan orang-orang yang pernah kutemukan, pria yang sudah menginjak kepala dua tersebut memiliki wajah manis khas Jawa Tengah.
Tanah Jawa, d iakhir masa kuliah aku mendapat tugas Praktek Lapangan di tvOne Jakata, ini adalah kali kedua aku menginjakan kaki di tanah Jawa, lima bulan lalu aku juga mendapat kesempatan untuk berada di negeri seberang ini, pada kesempatan kali ini aku diberikan waktu yang cukup lama, selama tiga bulan penuh ditugaskan untuk belajar di stasiun TV yang termasuk salah satu standar tertinggi stasiun TV yang ada di Indonesia tersebut.
Selama tiga bulan di Jakarta, tak mudah bagiku untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan orang disini memiliki watak keras, licik, dan sangat individualis, perlahan aku menemukan jalan untuk berbaur dan menyatu dengan mereka. Selama masa praktek lapangan aku menemukan banyak hal baru, bertemu dengan orang-orang hebat, mejalani pekerjaan profesional, dan belajar untuk hidup.
Aku hanya bekerja lima sampai delapan jam sehari dari Senin hingga Jumat, selama satu minggu aku mendapat libur selama dua hari, disela hari libur aku memanfaatkannya dengan berjalan-jalan di salah-satu kota paling kotor di dunia itu. Jakarta, orang menyebutnya begitu namun tidak denganku, aroma comberan seakan menjadi ciri khas si metropolitan itu, disetiap ujung minggu aku selalu menyempatkan diri untuk menengok Pustaka Nasional, Kantor Redaksi Tempo, Beberapa stasiun Tv, dan sebagian kecil wisata sejarah.
Bosan dengan Jakarta, aku melebarkan langkah ke seberang yaitu di Tanggerang Selatan, Kabupaten yang nyaris dipimpin oleh Andre Taulani tersebut adalah tempat yang mempertemukanku dengan Parmik pria yang kukenal semenjak berada di padang, tak kusangka aku bertemu sipetualang gila itu lagi di sini, pertemuan kali ini bukan tanpa disengaja karena memang sebelumnya kami sudah menjalin komunikasi.
Memang cocok dengan badanya yang kekar dan berbentuk, karena pekerjaan sebagai buruh bangunan telah membuat seluruh badannya seperti altlet angkat besi yang telah menang di beberapa kompetisi, rautnya tak berubah dia tetap sama seperti dulu kektika di padang, namun rambut yang semakin panjang menambah melankolis perawakannya.
Cukup lama bercakap kami memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi beberapa ruas jalan di Tanggerang Selatan, di tengah perjalanannya dia menawarkanku untuk beunjung ke kampung halamannya di Blora, Jawa Tengah. Awalnya aku tak ingin karena tak punya helai uang yang cukup untuk menukarnya dengan tiket ke sana, namun Parmik berkata demikian. “Udah kalau ongkos kamu nggak usah pikirin, biar  aku saja yang urus masalah itu,” ungkanya.
Tak sampai hati rasanya menerima tawaran itu, karena kurasa kehidpanku sedikit lebih baik, namun ia tak kunjung menyurutkan niat untuk mengajakku ke kampungnya, apa mau dikata niat kerasnya untuk membawaku pergi tak dapat kuhentikan meski rasa segan dan tak enak hati juga sama menyerangnya. Akhirnya seminggu setelah pertemuan itu aku memutuskan untuk pergi ke kampung halaman tempat iya bermukim dan menghabiskan setengah umur.

Bagian Satu
Surut niat untuk enggan bangun pagi ini demi menunaikan janji dengan sahabatku itu, hari ini tak seperti biasanya, karena biasanya setiap pagi aku selalu tidur setelah bertugas dua pertiga malam sebelumnya. Tutuntan pekerjaan yang sangat besar memaksaku untuk merubah siklus kehidupan yang sejauh ini berbeda 180 derrajat, siang kugunakan untuk tidur sedangkan malam untuk bekerja sebagai buruh media kapitalis itu. Hari ini sabtu sembilan Desember 2017 aku mulai melangkahkan kaki dari kost kumuh tempat tinggal tikus got yang seukuran dengan pemangsanya si kucing, hari ini kumulai dengan memesan Ojek online yang akan mengantar menuju stasiun Klender stasiun terdekat di daerah Pulogadung Jakarta timur. Perjalanan bermulai dari sini, berbaku hantam di atas kereta dengan wanita maupun pria sudah mulai terbiasa kurasakan karena ini adalah minggu terakhir di Jakarta, untuk sampai di Blora aku harus naik kereta api langsung dari stasiun pasar minggu artinya akan ada dua sampai tiga kali transit lagi dari stasiun Klender menuju stasiun Pasr Minggu yang merupakan salah satu stasiun kereta Api langsung tertua di kota datar tersebut.
Hampir satu jam aku telah menunggu di depan stasiun Pasar Minggu, Parmik dengan rambut panjangnya menyapaku dari kejauhan lalu membawaku ke tempat salah satu warung langganannya setiap hendak pulang kampung, sebelum pergi kami membungkus dua nasi untuk bekal selama delapan jam perjalanan menuju Blora. 14::00 WIB adala jadwal keberangkatan yang tertera di tiketku, namun pasti telat kerena ini Indonesia. Kami naik kereta Api tepat satu jam dari jadwal keberangkatan, harapku untuk melihat alam pulau jawa hanya menjadi harap karena belum keluar jakarta jingga senja menjadi seremoni perginya  sang matahari menerangi bagian timur bumi, alhasil hanya jendela hitam dan kursi tegak tidak nyaman yang menemaniku selama delapan jam kedepan tapi tak apa agaknya Parmik punya seribu cerita untuk menggambarkan indahnya Jawa yang katanya itu.
Ekspektasiku tentang permik memang benar, meskipun secara pendidikan aku jauh diatasnya tak berbanding lurus dengan pengetahuannya tentang hidup dia punya banyak cerita tentang hidupnya. Delapan jam perjalanan ceritanya seakan takada henti mencertakan sebagian pengalaman hidupnya yang telah mengelilingi jawa dan sumatera bahkan pulau borneo sudah ada dalam rencana perjalanannya, namun kesempatan kali ini dia sudah bersap untuk pulang ke kampung halaman tempat ia lahir dan menikmati masa kecil.
Beberapa kali anak-anak berjalan bolak-balik di depan bangkuku, mungkin karena bangku kami dekat dengan WC. Hampir seluruh orang yang lewat menggunakan sarung serupa dengan di kampungku karena biasanya hanya anak pesantren yang memiliki ciri-ciri sepertti itu. “Nah yang pakai sarung itu, adalah orang Jawa Timur itu ciri khas mereka,” ungkap Parmik disebelahku.
Tepat jam 11 malam aku sampai di stasiun akhir kami Randublatung. Di stasiun kecil ini kami turun. “Bloraaaaa,,,,, akuuuu muleeehh,,,” teriak Parmik di sampingku di tengah-tengah banyak orang, lirikan-lirikan itu tak sedikitpun diacuhkan olehnya yang terpenting ekarang dia sudah sampai di rumah.
Tak perlu waktu lama untuk kami tiba di rumah Parmik, hanya dengan sekali naik ojek kami sudah diantar tepat di depan pinu rumah. Perasaan tak percaya sekaligus terkejut atau apalah namanya ketika aku melihat rumahnya, dinding kayu jati dengan atap seng yang telah berumur lebih dari 70 tahun ditambah dengan lantai tanah serta satu rumah dengan hewan ternak membuatku tak percaya bahwa pria yang sangat baik itu berasal dari tempat ini, bertemu dengan kedua orang tuanya adalah satu kehormatan bagiku.
Hampir satu jam duduk dirumah dan melihat mereka tertawa dengan tontonan wayang yang sedikitpun aku tak mengerti, “Rumah-runah disini memang semuanya sperti ini, semuanya dari kayu jati asli sini dan rata-rata umurnya sudah diatas seratus tahun,” ungkap ayah parmik, mungkin karena melihatku yang dari tadi terus memperhatikan setiap inci rumahnya, dan yang terakhir kali membuatku terkejut adalah “Parmik”, ternyata panggilan itu bukan nama aslinya.

Bagian dua
Pagi ini terasa lelah sekali karena aku sulit tidur semalam karena tiga bulan ini jadwal tidurku adalah siang hari. Suparji. Begitulah ibunya memanggil sehari-hari, ternyata panggilan Parmik itu hanya dipakainya ketika berjlan jauh atau untuk orang yang baru dia kenal sepertiku. Pagi ini dia memaksaku untuk pergi latihan, kerena ada sesuatu yang kelak akan dia berikan padaku, keyakinanku bertambah karena dia membawaku berlari dari sawah ke sungai, terlihat dari kejauhan pucak gunung Salak yang gagah perkasa, selama perjalanan dia melatihku bak seerti latihan-latihan kungfu di Tiongkok sana, berlari, berlatih di atas batu, dan diakhiri dengan latihan pernapasan di tempat istimewa.
Sepanjang perjalanan tentu saja tidak hanya diam, Parmik memberikan begitu banyak pengajaran tentang kehidupan yang telah dijalaninya. “Dari semut dan dedaunan kita sudah diberi pelajaran bagaimana cara menjalani hidup ini oleh Allah,” ungkanya. Mungkin pelajaran seperti ini hanya bisa kudapatkan sekali seumur hidup.
Hari sudah hampir siang, matahari hampir sejajar dengan kepala namun gerombolan awan hitam turut datang dan mengancam untuk menurunkan hujan, kami memutuskan untuk berhenti dan istirhat sejenak di gubuk dekat sawah, sembari melihat beberapa burung dari kejauhan. Alam disini sungguhlah berbeda dengan kampungku, panas disini tak terlalu melakat dengan kulit, angin sepoy juga banyak, ditambah dengan banyaknya pohon jati khas Blora yang tumbuh di desa ini, konon katanya dari kampung ini dulu banyak sekali kayu jati rimba asli namun sekarang yang tinggal hanya pohon jati hasil tanam warga yang tentu kualitas kayunya dibawah kayu jati asli dari hutan.
Memang sepanjang jalan aaku hanya mayoritas ditanami pohon jati dengan umur yang bervariasi, mulai dari lima tahun sampai 80 tahun terlihat dari ukuruan pohon jati tersebut, Zuhur hampir tiba, hujan jua datang mengejar kami, agaknya cerita panjang dengan parmik telah membuat kami lupa untuk pulang, dari kejauhan terdengar gemuruh hujan datang mengejar dan kami turut berlari guna menghindari hujan. Pematang sawah yang hanya pas untuk satu orang tak menyurutkan kami untuk berlari menuju rumah. “Kok kayaknya jalan kerumah rasa jauh ya mas,” tuturku sambil berlari. “Udah lari saja dikit lagi kok,” Jawab Parmik dengan membewasendal jepit di tangannya.
Adzan magrib berbisik-bisik di telingaku mungkin ditutupi oleh suara hujan menghantam atapp tua rumah ini, akhirnya kami sampai di rumah dengan pakaian setengah basah, tk berpikir panjang aku langsung mandi dan mengganti pakaian yang sudah dua hari melekat di tubuhku, seusai makan pikirku akan langsung istirahat setelah latihan seharian, namun parmik tak berpikir begitu dia justru membawaku untuk latihan malam hari menunaikan janji katanya.

Bagian tiga
Hari ini sedikit berbeda dengan sebelumnya, karena parmik tengah sibuk dengan kegiatannya membentu ibu dan mengurus beberapa urusan keluarga yang tak perlu untuk ku ketahui. Hari ini aku bersama kakak laki-laki dari Parmik, Pria yang yang telah berkepala empat tersbut adalah sosok kakak yang sangat luar biasa kerena dia berjanji akan menyekolahkan adik dan anak dari kakaknya sebelum dia menikah dan janjinya itu sedang dipenuhinya sekarang. Setiap harinya dia selalu bangun pagi dan pergi ke ladang untuk bercocok tanam kata Parmik setiap tanaman yang ditanam oleh kakaknya ini tak pernah berakhir dengan kegagalan. Menurutku semua yang dia tanam itu dengan hati.
Siswanto, jawa yang sangat kental, bicara denganku menggunakan bahasa setengah jawa-Indonesia, untung saja aku sedikit mengerti karena dulu pernah belajar bahasa jawa, dia selalu bercerita tentang kehidupannya, selalu pergi dengan sepeda ontel, setiap pagi bercocok tanam hingga siang selalu begitu setiap hari dia tak pernah bosan karena dari kecil dia sudah menjalankan kehidupannya seperti itu.
Ditengah pembicaraan panjang Siswanto banyak menyinggung tentang kondisi ekonmi masyarakat dibawah garis kemiskinan meskipun tanah mereka kaya dengan gas bumi. Ya, tak jauh dari desa tempat ia bermukim berdiri kokoh sebuah tambang gas bumi yang sangat besar, konon tambang tersebut adalah salah satu pemasok terbesar untuk pertamina. “tempat kami ini kaya, contohnya ada tambang itu, tapi kami tak pernah menerima apa-apa dari sana,” tuturnya.
Pabrik yang telah berdiri kokoh hampir tiga puluh tahun itu memang berdiri kokoh diantara lapuk perumahan warga disana, jika malam datang warna merah menyala menerangi 30 sampai 50 meter dari pabrik itu. “Kalau apinya mati gasnya gak bisa diambil,” tambah siswanto. Pria yang memiliki rambut hingga ke pinggang itu bertutur kata yang lembut, tak pernah keras baik itu keada ayah maupun keponakannya.
Selain brcerita soal tambang, siswanto juga turut bercerita tentang PKI. Aku semakin tertarik dengan beliau karena aku sudah cukup lama mempelajari paham tersebut. Dia menggatakan di desa sebelah (Menden) adalah tempatnya PKI dahulu berkumpul. “Kalau dulu siapa yang pakai baju hitam-hitam itu sudah pasti adalah PKI dan banyak yang mati atau hilang malam,” jelas Siswanto. Mungkin masih ada PKI sampai sekarang namun enggan memperlihatkan identitasnya, maskipun begitu aku tahu ciri-cirinya!!!.
Di indonesia ada beberapa kali pemberontakan PKI yang pernah terjadi salah satunya adalah yang terjadi di Madiun pada tahun 1963 di tahun yang sama di tempat ini juga terjadi sebuah pertempuran yang sangat besar selama kurang lebih tiga hari, pembunuhan dan pembantaian terjadi dimana-mana, akhirnya ratusan ribu mayat bertebaran dimana-mana dan warga yang bukan PKI diminta bergotong-royong untuk mengubur mayat tersebut. “Kami dulu diajak pemerintah bawa cangkul, terus disuruh gali lobang sama-sama untuk menguburkan mayat-mayat itu” tambahnya dengan suara yang agak keras. 
Terlalu lama rasanya bebicara dengan beliau sehingga tak sadar dengan mulut yang selalu mengoceh ini, minum air dari kendi juga sesuatu yang baru bagiku. Siswanto tak jua menghentikan ceritanya. “Tapi sekarang kalau kamu gali bekas kuburan PKI yang dulu itu kamu nggak akan pernah menemukannya,” tambanya. Itu adalah mitos yang terdengarr asing bagiku, karna tak mungkin mayat yang sebanyak itu akan hilang begitu saja dalam tanah nan humus. “Sudah berapa kali orang menggali untuk di teliti namun tak jua ada hasilnya,”tambahnya menguatkan.
Tak lama kemudian Parmik kembali menemuiku lalu mengajaku untuk berkeliling, agaknya Siswanto sedikit kecewa karena dia mnungkin belum menyelesaikan ceritanya, namun apa boleh buat Parmik datang menjemput untuk kembali berjalan-jalan.


Bagian 4
Ini adalah hari terakirku besama Parmik di tanah jawa, barangkali tuhan mesih akan mempertemukan lagi kami kelak semoga saja.
Dihari terakhir ini aku merasa konsisten dangan hidupku, buah dari beberapa hari berjalan dengan parmik, hitam, putih, kelabu, bahkan lembayung hidup setidaknya sudanh beliau ceritakan agaknya lebih dari empat SKS dalam perkuliahan.
Hari ini kami berdua memiliki tujuan sejarah, melihat kampung orang Samin, konon disini adalah tempat berdoanya para petinggi bangsa di jaman dahulu. “Mulai dari Soekarno, Megawati, hingga Jokowi pernah berdoa di sisi,”ujar Parmik. Pernyataan itu sempat membuatku terkejut dan tak percaya, Itulah Indonesia dengan bangsa yang memiliki corak yang beragam membuat negeri ini wajib dikunjungi.
Unsur mistik yang sangat kuat telah menjadi ciri khas bangsa ini, salah satunya adalah orang samin dan di pendopo ini katanya setiap president yang berasal dari partai politik PDI Perjuangan harus berdoa dulu disini sebelum benar-benar bertugas sebagai presiden, entah dari mana datangnya kebiasaan itu dan saya juga tak peduli yang terpenting inilah Indonesia.
Senja kali ini tak serupa kemarin, awan hitam berlipat dan bersatu menghasilkan listrik yang kita kenal dengan petir, hujan lebat menutup perjalananku di Blora. Rasanya lagit jawa turut bersedih karena malam nanti aku akan kembali ke Jakarta, hehe.
Selama  perjalanan aku dan parmik harus berjuan menhindari hujan yang terus menghantam badan kami, tak sampai disitu  di tengah perjalanan kami melihat seorang pria paruh baya terkapar di tengah jalan dengan luka menganga di kepala, warna merah darah itu merubah bening air hujan yang turun, baru saja terjadi tabrak lari.
Tanpa berfikir panjang Parmik langsung meghentikan laju kendaraannya dan membawa pria itu ke puskesmas terdekat, sementara kami harus bergerak cepat karena kereta api akan datang puluk 23: 00 WIB, sementara sekarang sudah jam jam delapan malam, sampai kami di Puskemas masalah belum selesai karena pusekesmas tidak menerima dengan alasan tida memiliki alat yang cukup untuk luka separah itu (20:39).
Akhirnya Parmik menemukan rumah sakit meski jaraknya lumayan jauh, yang penting korban tersebut selamat. Satu setengah jam kedepan aku sudah harus berada di stasiun Randublatung. Parmik dan aku mempercepat laju laju motor untu pulang dan bergegas ke stasiunm dan akhirnya tepat jam (23:00) aku sampai di stasiun dan berangkat ke Jakarta.
Itulah segelintir kisahku tentang Parmik, pemuda gila yang  hanya akan berhenti berjalan ketika tuhan sudah memanggil. Dia adalah salah satu orang hebat yang kutemukan secara nayata dalam hidupku suatu kebanggaan tersendiri bagiku untuk bertemu dengannya. Tetaplah berjalan sahabat i proud of you. Sekian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Go Set A Watchman

“Go Set A Watchman” adalah buku yang sangat menarik bagi kita yang ingin tahu tentang isu diskriminasi ras di Amerika sejak tahun 1950-an, dalam buku ini Harper Lee sang penulis berhasil memberikan penekanan kepada Jean Louis sebagai karakter utama. Saya sangat takjub ketika membuka halaman pertama, kita tahu Harper Lee adalah seorang pemenang Pulitzer dengan buku fenomenalnya “To Kill A Mockingbird” yang mengguncang sastra dunia. Setiap halaman demi halaman di dalam buku ini ditulis dengan sastra klasik khas Amerika lengkap dengan puisi-puisi kenamaan Arthur William, William Schwenck Gilbert dan serpihan tulisan Lady Croline Lamb.   Dia membuat premis yang nyaris sempurna kepada seluruh tokoh yang membuat pembaca mendapatkan makna-makna tersendiri dari seluruh karakter yang ada. Meskipun lebih dari sepuluh karakter terdapat dalam buku ini penulis tetap menjadikan Jean Louis sebagai inti cerita dengan tidak meninggalkan detail penokohan yang lain. Ayah Jean Louis, Att

Menikmati Ketidakpastian (Bagian Satu)

Ada beberapa kisah menaik yang ada dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan. Beberapa waktu yang lalu ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota besar serupa “Neraka” ini ada seorang laki-laki yang menurut saya adalah akan menjadi orang yang akan selalu saya percayai, bukan perempuan karena mungkin bebrapa tahun ini saya belum akan memulai kisah beru dengan perempuan karena da sesuatu hal yang membuat saya merasa kurang beruntung dengannya. Untuk mencapai sesuatu dan mempercayainya butuh waktu yang tidak sedikit, butuh waktu rata-rata tujuh tahun begi seseorang bisa menguasai bidang yang ia sukai, di dalam tujuh tahun itu terdapat kesenangan, kebosanan, konsisten, putus asa dan merasa gagal. Begitu juga untuk mengenal manusia, sampai sekarang saya hanya punya dua orang sahabat saja yang sangat dipercayakan bukan karena sombong because something but, this is about self , saya tidak tahu tapi entah mengapa saya sangat susah dekat dengan orang dan hal tersebut sudah saya

Kiri Itu Seksi

Kiri Itu Seksi 10 November lalu, bertepatan dengan hari pahlawan tirto.id mengeluarkan sebuah artikel yang berjudul “Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional” kedua tokoh tersebut adalah Tan Malaka dan Alimin. Siapa yang tak kenal Tan Malaka, pendiri partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) itu adalah seorang pemuda minang yang sangat dihormati oleh Ir Soekarno, sejarah pernah mencatat bahwa Soekarno mengatakan. “Apa bila bukan saya maka Tan yang jadi presiden,” tutur pria beristri sembilan tersebut membuktikan bahwa pemikiran Tan punya pengaruh kuat untuk memerdekakan Indonesia, tapi semua adidaya pemikiran seorang Tan tersebut seakan tak berguna di mata masyarakat sekarang hanya karanya beliau adalah seorang komunis.  Ya.. “KOMUNIS”  kata tersebut sengaja saya besarkan karena apabila mendengar kata itu masyarakat Indonesia sekarang berpikir itu adalah paham keras, radikal atau sebagainya, tanpa tau atas dasar apa mereka berpikir seperti itu, padahal menurut say