Tokoh-tokoh besar asal Sumatera Barat memang ditakdirkan Tuhan untuk dilahirkan pada masa yang sangat dibutuhkan yaitu sebelum dan pancaroba kemerdekaan, nama-nama besar seperti Muhammad Yamin, Agus Salim, Buya Hamka dan Muhammad Hatta telah menghiasi sebagian besar sejarah yang pernah dicatat.
Namun dibalik seorang Hatta dengan pemikirannya, Yamin dengan pemikirannya, Agus Salim dengan ketegasannya dan Buya Hamka dengan pengetahuan agama dan sastranya, hadir diantara mereka seoran gerilyawan yang cerdik, pemikir keras dan pandai, dia adalah seorang konseptor Kemerdekaan Republik Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka apabila kemerdekaan politik sudah 100% di tangan rakyat. Dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang kita kenal dengan Tan Malaka.
Pagi itu (25/06) setelah melaksanakan solat Eid, hati ini tergerak untuk melihat langsung kediaman pengarang buku GERPOLEK tersebut, memang sudah lumayan lama saya tertarik dengan tulisan-tulisan milik Tan Malaka. Kebetulan hari raya tahun ini giliran lebaran di kampung ayah di Tanjung Pati, Sarilamak, Lima Puluh Kota.
Letaknya di Padam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Akses untuk kesana cukup mudah yaitu dengan menaiki bus dari Kota Padang lalu dilanjutkan dengan mengguakan jasa ojek, namun pada kesempatan kali ini saya menunggangi motor yang biasa saya gunakan untuk kuliah, jaraknya sekitar 40 KM dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam dari Tanjung Pati.
Memasuki Negeri Suliki, hamparan batang jaruk manis menyambut, laju motor sengaja diperlambat dengan tujuan mengambil sebuah jeruk di pinggir jalan. "Alhmdlillah sudah tidak puasa," hehehe!!!
Sampai di rumah Tan Malaka semuanya terasa berbeda, maklum rumah itu sangat sederhana dengan arsitektur khas Minangkabau. Di depan rumah terdapat sebuah patung Tan Malaka yang terbuat dari perunggu dan di sampingnya berbaris rapi makam Ayah dan ibunya serta Tan Malaka di depan bendera merah putih yang masih enggan melenggokan badannya. Tan Malaka meninggal di Kediri, Jawa Timur, sejak 21 Februari 1949 dan jasadnya baru dipindahkan Maret 2017 ini ke kampung halamannya di Suliki.
Langkah saya sedikit ragu-ragu ketika ingin masuk ke rumah itu, terlihat di depan rumah itu dua orang warga setempat sedang memancing ikan, mengaku sebagai seorang wartawan saya minta izin kepada salah seorang dari mereka, dan mereka membolehkan karena rumah itu memang sudah jadi tempat wisata sejak 21 Februari 2008. "Silahkan masuk saja, pintunya tidak dikunci," tuturnya yang sedang memasang umpan di kail pancing.
Langkah kaki terasa agak berat saat menaiki tangga, perasaan tak enak ini mungkin bersumber dari dalam rumah yang penuh dengan sejarah ini. Bagaimana tidak, baru saja membuka pintu foto-foto muda seorang Gerilyawan tersebut menantang tanpa senyuman, buku-buku tentang dirinya disusun rapi di dalam sebuah lemari kaca.
Sampai di ruangan utama semua terasa begitu mencekam, lantainya sudah dimakan rayap, sehingga perlu perhitungan yang tepat untuk melengkah di atasnya, dua buah kayu lapuk itu menopang atap rumah yang sudah menghitam karena panas sinar matahari, jendelanya tak berfungsi dengan baik, karena memang sudah tua jaring laba-laba dimana-mana, tapi dari rumah ini lahir seorang bayi yang menjelma sebagai pemikir bangsa dan konseptor Kemerdekaan RI di belakang Soekarno. Di ruangan inilah terdapat beberapa bukti sajarah, begitu banyak barang-barang pribadi Tan Malaka yang dipergunakannya ketika masih hidup, Itu adalah bagian dari sejarah.
Setelah selesai melihat beberapa barang pribadinya, saya melanjutkan untuk melihat kamar tidur, kabarnya tak sembarangan orang boleh masuk dan mengambil foto disana. Namun karena pengakuan saya sebagai seorang wartawan tadi meperbolehkan saya untuk masuk dan mengabil foto salain saya sendiri dirumah itu, biasanya ramai mungkin karena sedang lebaran.
Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang dengan desain kuno, kemeja putih, sepasang pakaian adat Minangkabau , dan lemari yang berisi beberapa kain panjang milik Tan Malaka.
Terdapat lukisan wajah Tan Malaka diatas sebuah kanvas putih, kata masyarakat sekitar lukisan tersebut mengandung unsur mistik, mungkin itu sebabnya hanya ada satu lukisan saja di dalam kamar sedangkan lukisan lainnya berada di ruang utama. Meskipun sedikit takut namun saya tetap mengambil foto lukisan itu.
Keluar dari kamar itu saya sempatkan membaca sedikit salah satu buku miliknya yang ditulis dengan Bahasa Belanda, Meskipun tak paham, saya yakin bahwa buku tersebut sangat bagus karena sedikit banyaknya saya telah membaca karya-karyanya dan pastinya luar biasa.
Setelah membaca buku itu saya putuskan untuk menyelasaikan kunjungan ini karena suasana yang semakin mencekam mungkin karena sendiri di dalam rumah tua ini. Saat ingin keluar, saya melihat sebuah kutipan dari seorang Tan Malaka yaitu "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" kata itu menjadi sebuah pesan bahwa setinggi-tingginya ilmu seorang tetaplah menjadi sederhana dan ajarkan kepada mereka yang tak memiliki kesempatan itu, khususnya kaum Murba dan Murbi Indonesia.
Tak lupa saya berikan hormat tangan kanan selama kurang lebih satu menit, lalu pergi meninggalkan rumah yang bersejarah itu.
Tetaplah hidup Sang Gerilya
Your name will always live with us with your work that will continue to provoke our thinking to move forward
Komentar