Langsung ke konten utama

Pengaruh sekuler perlahan masuk ke Indonesia



Selamat Datang Sekuler

Tiga bulan lalu, Kementrian Agama Republik Indonesia sempat mengeluarkan wacana mengenai sertifikasi ulama, bahwa setiap ulama maupun khatib yang berkhotbah di masjid harus memiliki sertifikat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah, wacana tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi isu makar yang dianggap berawal dari dakwah ulama. Dengan hadirnya wacana ini, pemerintah dianggap terlalu dalam mengatur umat beragama, tak lagi selaras dengan sila pertama  “Ketuhanan yang maha esa” setiap Penduduk Indonesia bebas memeluk dan menyerbarluaskan enam agama yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.  Pemerintah Indonesia ramai-ramai menyuarakan wacana tersebut dangan slogan saling menghargai dan toleransi, diantaranya dikutip dari Detiknews 18 Februari 2016 lalu, wakil Presiden Presiden Indonesia Jusuf Kalla mengatakan. “Panggilan salat lewat speaker cukup 10 menit, jangan berlebihan ,” pernyataan JK yang tersebut memberikan  sinyal bahwa Indonesia secara perlahan telah dirasuki oleh setan sekulerisme. Wacana seperti ini telah diaplikasikan oleh Malaysia dan Singapura yang telah lebih dulu menjadi negara sekuler, sekuler adalah dimana suatu sistem pemerintahan menjadi netral dalam permasalahan agama dan tidak mendukung orang beragama maupun tidak beragama. Negara sekuler mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu.
 Memang tidak bisa disalahkan, Indonesia adalah negara republik yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, namun apabila dilihat dari sisi yang lain, Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menjujung tinggi nilai toleransi dengan masyarakatnya yang saling menghargai satu sama lain, oleh karena itu pemerintah diharapkan jangan terlalu cemas dengan ormas yang memiliki latar belakang agama tertentu begitu berkembang pesat di Indonesia, karena masyarakat sudah terdoktrin dengan perilaku toleransi, walaupun ada sebagian sedikit yang tak terkendali. Gencarnya pemerintah menyuarakan yang berkaitan dengan wacana tersebut justru akan menyebabkan banyak kekacauan, ditambah pemerintah cendrung sedikit menyudutkan umat Islam yang pada dasarnya adalah agama terbesar di Indonesia.
  Meskipun pada akhirnya wacana tersebut sudah jarang terdengar di media, bukan berarti pemerintah berhenti mengusahakan terwujudkan wacana tersebut, terakhir  dikutip dari Kompas.com 28 April 2017 kemarin, Menteri Agama Lukman Hakim Sayfuddin mengeluarkan seruan mengenai ketentuan ceramah di rumah-rumah ibadah seluruh Indonesia, yang isinya yaitu:  

  1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.  
  2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
  3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama manapun. 
  4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spriritual, intelektual, emosional dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasehat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa serta kesejahteraan dan keadilan sosial. 
  5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus bangsa Indonesia, yaitu; Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika. 
  6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa. 
  7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan dan atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar atau dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis dan destruktif. 
  8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan atau promosi bisnis.
  9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.

Dari beberapa pernyataan lukman diatas pemerintah secara gamblang menjelaskan bahwa seluruh umat beragama di Indonesia akan diatur oleh pemerintah yang segera dicantumkan di dalam undang-undang. Jelas ini adalah cikal bakal dari pada masuknya virus-virus sekuler ke dalam tubuh negeri ini, oleh karena itu sebagai umat  beragama kita harus menolak berbagai macam bentuk sekuler tersebut,  yang nantinya akan brakibat kepada kebebasan kita memeluk dan menjalankan seluruh tuntunan yang diajarkan oleh agama kita masing-masing.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Go Set A Watchman

“Go Set A Watchman” adalah buku yang sangat menarik bagi kita yang ingin tahu tentang isu diskriminasi ras di Amerika sejak tahun 1950-an, dalam buku ini Harper Lee sang penulis berhasil memberikan penekanan kepada Jean Louis sebagai karakter utama. Saya sangat takjub ketika membuka halaman pertama, kita tahu Harper Lee adalah seorang pemenang Pulitzer dengan buku fenomenalnya “To Kill A Mockingbird” yang mengguncang sastra dunia. Setiap halaman demi halaman di dalam buku ini ditulis dengan sastra klasik khas Amerika lengkap dengan puisi-puisi kenamaan Arthur William, William Schwenck Gilbert dan serpihan tulisan Lady Croline Lamb.   Dia membuat premis yang nyaris sempurna kepada seluruh tokoh yang membuat pembaca mendapatkan makna-makna tersendiri dari seluruh karakter yang ada. Meskipun lebih dari sepuluh karakter terdapat dalam buku ini penulis tetap menjadikan Jean Louis sebagai inti cerita dengan tidak meninggalkan detail penokohan yang lain. Ayah Jean Louis, Att

Menikmati Ketidakpastian (Bagian Satu)

Ada beberapa kisah menaik yang ada dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan. Beberapa waktu yang lalu ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di kota besar serupa “Neraka” ini ada seorang laki-laki yang menurut saya adalah akan menjadi orang yang akan selalu saya percayai, bukan perempuan karena mungkin bebrapa tahun ini saya belum akan memulai kisah beru dengan perempuan karena da sesuatu hal yang membuat saya merasa kurang beruntung dengannya. Untuk mencapai sesuatu dan mempercayainya butuh waktu yang tidak sedikit, butuh waktu rata-rata tujuh tahun begi seseorang bisa menguasai bidang yang ia sukai, di dalam tujuh tahun itu terdapat kesenangan, kebosanan, konsisten, putus asa dan merasa gagal. Begitu juga untuk mengenal manusia, sampai sekarang saya hanya punya dua orang sahabat saja yang sangat dipercayakan bukan karena sombong because something but, this is about self , saya tidak tahu tapi entah mengapa saya sangat susah dekat dengan orang dan hal tersebut sudah saya

Kiri Itu Seksi

Kiri Itu Seksi 10 November lalu, bertepatan dengan hari pahlawan tirto.id mengeluarkan sebuah artikel yang berjudul “Tokoh PKI dan Orang Kiri yang Jadi Pahlawan Nasional” kedua tokoh tersebut adalah Tan Malaka dan Alimin. Siapa yang tak kenal Tan Malaka, pendiri partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) itu adalah seorang pemuda minang yang sangat dihormati oleh Ir Soekarno, sejarah pernah mencatat bahwa Soekarno mengatakan. “Apa bila bukan saya maka Tan yang jadi presiden,” tutur pria beristri sembilan tersebut membuktikan bahwa pemikiran Tan punya pengaruh kuat untuk memerdekakan Indonesia, tapi semua adidaya pemikiran seorang Tan tersebut seakan tak berguna di mata masyarakat sekarang hanya karanya beliau adalah seorang komunis.  Ya.. “KOMUNIS”  kata tersebut sengaja saya besarkan karena apabila mendengar kata itu masyarakat Indonesia sekarang berpikir itu adalah paham keras, radikal atau sebagainya, tanpa tau atas dasar apa mereka berpikir seperti itu, padahal menurut say